JAKARTA – Kebijakan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 88 tahun 2013 tentang tunjangan kinerja pegawai di lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), dinilai sangat
diskriminatif. Bunyi pasal 3 ayat (1) poin (f) dijelaskan bahwa, Guru dan
Dosen dikecualikan untuk mendapatkan tunjangan kinerja.
Pemerintah dianggap tidak serius memikirkan kesejahteraan dosen.
Tanggung-jawab yang besar karena harus melakukan Tri Dharma Perguruan
Tinggi dan kualifikasi akademik minimal S2, tidak menjadi acuan yang
sepadan dalam penentuan hak-hak dosen. Ironisnya, hak-hak yang diperoleh
PNS di luar Kemendikbud jauh lebih besar.
Diskriminasi ini memicu ribuan Dosen Indonesia menggalang Petisi yang
mendesak pemerintah untuk merevisi Perpres 88/2013 yang dianggap tidak
adil. Berbagai perhimpunan profesi dosen di Indonesia seperti, Forum
Akademisi Informasi dan Teknologi (FAIT), Grup Dosen Indonesia (GDI),
Forum Dosen Indonesia (FDI) dan Forum Asosiasi Dosen (FAD) mendukung
langkah penggalangan petisi.
“Kami menolak Perpres No. 88/2013 karena telah mendiskriminasi dosen untuk
tidak mendapatkan haknya. Pemerintah harus merevisi perpres tersebut,”
ujar Abdul Hamid, penggagas petisi yang juga Dosen di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa, Banten.
Masih lanjut Abdul Hamid, “Kami telah menggalang Petisi sebagai reaksi
atas ketidakadilan terhadap profesi Dosen yang tidak mendapatkan tunjangan
kinerja, padahal tunjangan kinerja seharusnya otomatis melekat pada status
PNS.”
Senada dengan Abdul Hamid, Sekjen FAIT, Janner Simarmata menegaskan,
penggalangan petisi adalah langkah awal yang dilakukan Dosen Indonesia
untuk menuntut haknya.
“Petisi adalah langkah awal Dosen di seluruh Indonesia menuntut haknya.
Kita akan melihat respon pemerintah,” tegas Janner Simarmata yang juga
dosen di Universitas Negeri Medan.
“Pemerintah sepatutnya mengetahui, tunjangan kinerja dan tunjangan profesi
adalah dua hal yang berbeda. Tunjangan kinerja mengacu pada pekerjaan,
perilaku dan hasil yang otomatis melekat pada PNS. Sedangkan tunjangan
profesi (serdos) mengacu pada pengakuan terhadap dosen sebagai tenaga
professional melalui persyaratan seperti, pendidikan, kepangkatan, nilai
TOEFL dan TPA,” lanjut Janner Simarmata.
“Jika dosen tidak berhak menerima tunjangan kinerja, lantas tunjangan apa
yang didapatkan seorang dosen apabila dia juga belum memperoleh tunjangan
profesi (serdos)?” tanya Janner Simarmata.
Senada dengan rekannya, pengurus GDI, Ranny Emilia, mempertanyakan
penghentian tunjangan fungsional dan tunjangan profesi ketika seorang
dosen sedang tugas belajar.
“Dosen diperlakukan tidak adil dan ketidakpastian hukum terjadi di
Kemendikbud. Buktinya, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi
dihentikan ketika seorang dosen sedang tugas belajar. Bukankah tugas
belajar bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi,” sebut Ranny Emilia yang
juga dosen di Universitas Andalas Padang.
Sementara itu, Ketua Umum FAIT, Hotland Sitorus menghimbau Mendikbud agar
segera mengusulkan revisi terhadap Perpres No. 88/2013 kepada Presiden.
“Petisi ini hal yang serius untuk dipikirkan Mendikbud. Ribuan Dosen di
seluruh Indonesia berharap memperoleh haknya. Kenapa justru dipersulit.
Mendikbud harus bertanggungjawab,” tegas Hotland Sitorus.
“Apabila petisi ini tidak ditanggapi pemerintah, bukan tidak mungkin Dosen
di Seluruh Indonesia akan melakukan mogok mengajar nasional,” pungkas
Hotland Sitorus.(rls)



BERITA TERHANGAT
Gebrakan Gubri Abdul Wahid: Luncurkan Program BERMARWAH Ringankan Pajak Kendaraan Riau!
Kunjungi Taman Anggur Ponjay, PPWI Siap Dukung Program Penanaman 2 Juta Pohon Anggur
Kemenkumham Terima Penganugerahan dari BPS